Jumat, 21 Oktober 2011

Didakwa Korupsi, Bupati Lampung Tengah Juga Bebas Murni

BANDARLAMPUNG – Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Tanjungkarang, Andreas Suharto dan Itong Isnaini, dalam tiga hari terakhir tengah "berbaik hati”. Utamanya kepada terdakwa dugaan tindak pidana korupsi. Senin (17/10) lalu, Andreas dan Itong memvonis bebas Bupati Lampung Timur nonaktif Satono.

Kemarin (19/10) giliran mantan Bupati Lampung Tengah Andy Achmad Sampurna Jaya yang divonis bebas. Usai palu diketuk tiga kali, gema Salawat Badar berkumandang di ruang Garuda PN Tanjungkarang kemarin. Kanjeng –sapaan akrab Andy Achmad– yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi kas daerah Pemkab Lamteng sebesar Rp28 miliar serta-merta sujud syukur.

Mengenakan baju batik cokelat dengan kopiah hitam, Kanjeng mengungkapkan kebahagiaannya dengan menyalami ketiga hakim dan penasihat hukumnya, Suyitno Landung dan Yuzar Akuan, serta ketiga jaksa penuntut umum (JPU): Abdul Kohar, Yusna Adhia, dan Sri Aprilinda.

Selanjutnya, pelantun tembang Tanoh Lado tersebut memeluk keluarga serta kerabatnya, lalu berjalan keluar ruangan dengan kawalan para pendukungnya dari Laskar Merah Putih (LMP).

Sementara Yuzar Akuan, ketua tim kuasa hukum Kanjeng, mengatakan sejak semula dirinya menilai bahwa ditetapkannya Kanjeng sebagai terdakwa terlihat sangat dipaksakan, mengingat penilaian tentang bukti yang diajukan JPU lemah.

"Sebenarnya disaksikan juga dalam persidangan terbuka bagaimana eksistensi dan validitas dari saksi JPU itu betul-betul bisa dilumpuhkan di persidangan. Bahkan sebagian saksi keterangannya berbeda dengan BAP (berita acara pemeriksaan). Apalagi dari BPKP saat itu, Pak Anung Ratmaji, yang memberikan kesaksian bahwa dia melakukan audit dengan bahan-bahan keterangan yang didapat dari BAP," paparnya.

Yuzar menegaskan, sebagian besar BAP dengan keterangan di bawah sumpah berbeda. Dan tidak ada yang menyatakan Kanjeng memerintahkan atau memberikan kuasa atau mendelegasikan pengalihan penempatan dana dari Bank Lampung Bandarjaya ke BPR Tripanca Setiadana.

"Kredit itu berdiri sendiri dari dalam korps hukum perdata. Tentang surat perintah penempatan itu sudah diperiksa di Laboratorium Kriminal Polri dan ternyata hasilnya nonidentik. Apalagi yang mau dibuktikan? Cukup kan? Oleh karena itu, saya katakan sepanjang hakim bersikap objektif independen dan tetap memegang teguh asas ketuhanan, Kanjeng memang harus bebas," tegasnya.

Disinggung kesiapannya jika JPU mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), Yuzar menyatakan siap mengikuti prosesnya. "Memang itu merupakan kewajiban dan prosedur tetap, bahwa jika putusan bebas, JPU harus menempuh upaya kasasi. Dan kami juga akan mengikuti proses selanjutnya. Kami siap dan sangat siap, serta tetap optimistis keputusan tingkat pertama adalah objektif sesuai bukti yang ada," pungkasnya.

Sementara itu, salah satu JPU Yusna Adhia memastikan pihaknya akan mengajukan kasasi ke MA. Ia merasa kerja kejaksaan bertahun-tahun menyusun berkas sia-sia. "Ya mau diapain, sekarang kita kembalikan ke hati nurani masing-masing saja. Hakim punya hati nurani, jaksa juga punya. Tetapi pasti kami kasasi," ujarnya usai persidangan dengan raut wajah kecewa.

Jaksa terbaik kedua se-Indonesia itu menilai putusan majelis hakim kontradiktif karena terdakwa lainnya dalam kasus tersebut, yakni Herman Hasboelah, diputus PN hukuman enam tahun, kemudian banding dan diputus Pengadilan Tinggi (PT) Lampung dua tahun.

"Pertimbangan hukumannya itu atas dasar perintah terdakwa Andy Achmad. Nah terdakwa lainnya Musawir Subing juga begitu, diputus PN selama 1,5 tahun, lalu mengajukan banding di PT, kemudian diputus bebas karena alasannya benar pasal 151 KUHAP yakni atas perintah jabatan yaitu atas nama Andy Achmad Sampurna Jaya yang sekarang divonis bebas. Sekarang kita kembali ke hati nurani saja, karena yang menentukan kebenaran itu nanti," tegasnya dengan mimik muka kesal.

Di bagian lain, sekitar 15 menit usai persidangan, PN menggelar konferensi pers di ruang mediasi yang terletak di lantai 2 kantor setempat. Saat itu dari pihak PN hanya dihadiri Itong Isnaini selaku juru bicara PN dan salah satu hakim anggota pada persidangan Kanjeng.

Ia menjelaskan, dalam perkara tersebut, majelis menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan primer pasal 2 ayat 1 juncto pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor yang diubah dan ditambah dengan UU No. 20/2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Begitu pula dakwaan subsider yakni pasal 3 juncto pasal 18 UU RI No. 31/1999 yang diubah dan ditambah dengan UU RI 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Kemudian dakwaan lebih subsider yakni pasal 5 ayat 2 dan 3 UU RI No. 31/199 yang diubah UU No. 20/2001 tentang Tipikor.

"Menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primer, subsider, atau lebih subsider. Memulihkan hak terdakwa dalam kedudukan dan harkat martabatnya, serta membebankan biaya persidangan kepada negara," ujarnya.

Intinya, sambung Itong, dakwaan primer itu adalah melawan hukum, subsider menyalahgunakan kewenangan, dan dakwaan lebih subsidernya menerima pemberian atau janji sebagai seorang penyelenggara negara atau pejabat negara.

Pria berkacamata itu menjelaskan, dalam dakwaan primer, majelis berkesimpulan perbuatan terdakwa tidak terbukti seperti yang didakwakan di samping itu majelis mengambil dasar, apakah perbuatan bupati atau kepala daerah dalam hal ini menempatkan dana kas daerah pada rekening BPR Tripanca Setiadana melawan hukum atau tidak, dan apakah kas daerah itu harus disimpan di bank pemerintah.

"Karena pada dakwaannya dikatakan salah lantaran menempatkannya bukan di bank pemerintah berdasarkan kajian hukum pasal 27 UU Nomor 1 Tahun 2004, PP 58 Tahun 2005, kemudian Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, ternyata di sana pengelolaan rekening kas daerah itu dapat ditempatkan di bank yang ditetapkan oleh kepala daerah secara bebas sesuai kebijakan dengan syarat bank yang dimaksud itu bank yang sehat," terangnya.

Karena itu, dalil JPU tentang bank pemerintah tidak ditemukan dalam sistem hukum perbankan di Indonesia. Karena dalam hukum perbankan Indonesia hanya dikenal dua bank, yakni umum atau BPR.

"Keterangan bank pemerintah dalam surat dakwaan ditemukan dalam penjelasan pasal 193 UU 23 tahun 2004 yang menjadi dasar dakwaan. Majelis berketetapan bahwa penjelasan itu tidak bisa dijadikan dasar adanya norma baru, karena norma tersebut sudah ada bahwa bank itu ditetapkan secara bebas tapi penjelasannya menyatakan bank pemerintah. Majelis juga berketetapan bahwa penjelasan ini adalah penjelasan yang tidak jelas menimbulkan norma baru yang tidak sama dengan ketentuan perundangan hukum," tandasnya. (whk/c1/ary)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar