Jumat, 16 Desember 2011

Jamil Mubarok: Hakim Peminta Striptease Tunjukkan Pengawasan MA Longgar

Jakarta – Hakim Dwi Djanuanto dipecat Majelis Kehormatan Hakim (MKH) karena terbukti meminta penari telanjang dan tiket pesawat kepada pihak berperkara. Munculnya kasus ini menunjukkan pengawasan Mahkamah Agung (MA) yang longgar.

“Ini harus ada sikap tegas. Aturan sudah ada, tetapi harus dijalankan secara tegas, tidak ada toleransi lagi. MA seharusnya sudah punya deteksi dini. Adanya kasus ini menunjukkan longgarnya pengawasan MA terhadap hakim,” kata peneliti dari Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Jamil Mubarok.

Berikut ini wawancara detikcom dengan Jamil, Kamis (24/11/2011):

Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta Dwi Djanuanto terbukti meminta penari telanjang dan tiket pesawat kepada pihak berperkara. Hakim Mahkamah Syariah Tapaktuan Provinsi Aceh Dainuri juga terbukti melakukan perbuatan asusila. Apa pandangan MTI terhadap kasus ini?

Ini cerminan dari masih belum bermartabatnya hakim di Indonesia. Kemudian dengan perilaku ini kehormatan hakim akhirnya tidak ada, hilang. Dari dua kasus ini harus jadi pembelajaran penting Mahkamah Agung (MA) dalam menegakkan moral dan etika di antara hakim.

Pentingnya intensifikasi pengawasan pada perilaku hakim dari internal MA agar tidak terulang kembali. Ini sangat memalukan wajah hukum Indonesia. Perilaku hakim seperti itu langsung atau tidak langsung berpengaruh pada pengambilan keputusan. Hakim menjadi tidak kredibel, langsung atau tidak bisa berpengaruh pada kualitas keputusan. Karena putusan adalah cerminan perilaku hakimnya juga.

Bisa berimbas pada munculnya ketidakpercayaan masyarakat pada penegak hukum?

Totalitas reformasi penegak hukum masih jauh dari harapan masyarakat, dengan contoh saat ini, seharusnya pada stakeholder, Ketua MA, pimpinan Kejaksan dan Kapolri. Ini realita yang menyedihkan, menyakitkan. Jadinya tidak sesuai dengan arah pembaruan hukum di Indonesia.

Ini harus ada sikap tegas. Aturan sudah ada, tetapi harus dijalankan secara tegas, tidak ada toleransi lagi. MA seharusnya sudah punya deteksi dini. Adanya kasus ini menunjukkan longgarnya pengawasan MA terhadap hakim.

Majelis Kehormatan Hakim sudah memecat hakim tersebut. Ini keputusan tepat?

Saya berharap tidak sebatas divonis di MKH saja. Kalau memang ada tindak pidananya, meski tindak pidana ringan, maka harus berlanjut proses hukumnya. Jangan berhenti di pemecatan.

Dia harus hadapi proses hukum juga. Satu sisi MA memang sudah membuat suatu tindakan yang baik, yakni dengan membuat MKH bersama Komisi Yudisial (KY). Tindakan itu harus inward looking, koreksi diri.

Jadi ke depan apa yang harus dilakukan?

Pengawasan terhadap hakim jangan mutlak di pengawasan eksternal di KY atau publik secara luas. Melainkan harus ada pengawasan internal. Saya kira kalau ini terjadi berulang harus ada evaluasi besar terhadap proses pembinaan terhadap hakim.

Belum lama ini jaksa di Kejaksaan Negeri Cibinong tertangkap tangan KPK karena menerima menerima uang suap Rp 99 juta. Ada pula kasus jaksa menghamili tahanan di Lamongan. Ini menunjukkan apa?

Ini menunjukkan reformasi kejaksaan masih belum memenuhi hasil signifikan, belum komprehensif. Padahal kasus jaksa tertangkap tangan kan sebelumnya sudah pernah terjadi. Ini sekaligus juga merupakan desakan terhadap jaksa untuk mengubah perilakunya. Penangkapan itu hanya sebagian kecil shock therapy. Jaksa juga harus buat sistem ketat agar para jaksa tidak bisa komunikasi langung dengan pihak berperkara.

Pembenahan apa yang harus dilakukan?

Soal jaksa yang tertangkap tangan ini harus dipertanyakan ke Kejari Cibinong, kenapa mereka justru ditangkap tangan oleh KPK? Seharusnya mereka bisa ditindak oleh jaksa pengawas, karena itu memang tugas jaksa pengawas.

Saya kira ini terjadi karena fungsi pengawasan di level kejari tidak berjalan sama sekali. Pembenahan pengawasan internal ini menjadi PR terbesar kejaksaan dan masyarakat untuk mengawasi Kejagung. (vit/nwk)

Sumber: Detikcom – Kamis, 24/11/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar