Kamis, 17 November 2011

Memberantas Korupsi (dari) Diri Para Penegak Hukum

Albert Aries - detikNews

Jakarta - Penegakan hukum di negeri ini khususnya pemberantasan korupsi dinilai semakin 'jauh panggang dari api'. Bayangkan saja, di tengah-tengah gerakan yang menyuarakan pemberantasan korupsi yang didukung juga oleh banyaknya peraturan yang mendukung upaya pemberantasan korupsi, justru saat ini korupsi semakin menjadi-jadi.

Ketika penulis berbincang-bincang langsung dengan salah seorang anak kandung dari legenda advokat Indonesia yang juga triple minority (keturunan Chinese, Kristen dan jujur), yaitu almarhum Yap Thiam Hien, maka penulis mendapat satu kesimpulan bahwa korupsi memang sudah ada sejak dulu. Namun kondisi saat ini sudah jauh berbeda, dan bahkan jauh lebih parah daripada masa Orde Baru. Sampai-sampai beliau menyatakan, "Jika papi (Yap Thiam Hien) masih hidup saat ini, mungkin dia akan sangat frustasi dengan penegakan hukum di negeri ini."

Nampaknya benar adanya, tolak ukur kesuksesan pemberantasan korupsi tidaklah ditentukan dari seberapa banyaknya program pemerintah untuk pemberantasan korupsi atau pun seberapa bagusnya mutu peraturan yang mengatur pemberantasan korupsi tersebut, melainkan sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Profesor Taverne:

"Berikanlah aku hakim yang baik, (jaksa yang baik), (polisi yang baik), (dan pengacara yang baik), maka dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang dicapai pasti akan lebih baik."

Idealnya, pemberantasan korupsi tersebut harus dimulai dari diri para penegak hukum itu sendiri. Sebab apalagi yang dapat kita harapkan jika para penegak hukum sendirilah yang melakukan dan membudayakan korupsi.

Memberantas korupsi yang dimulai diri para penegak hukum sendiri memang bukanlah suatu hal yang mudah dan terkesan abstrak, tentunya hal ini kembali lagi berbicara soal nilai-nilai kesederhanaan, hati nurani dan integritas dalam menjalankan hidup yang seringkali banyak menemui pilihan-pilihan untuk berbuat yang benar atau tidak benar. Penulis ingat betul cerita luar biasa yang menginspirasi dari salah satu mantan Kepala Kejaksaan Negeri Manado, yang saat ini merupakan salah satu pakar hukum pidana, Prof Andi Hamzah, SH, yang mana pada saat itu istri beliau sampai menggadaikan perhiasannya untuk memenuhi biaya hidup, tanpa harus menyalahgunakan wewenang suaminya sebagai penegak hukum.

Mungkin di antara kita juga pernah mendengar kisah Yudas Iskaryot yang tega menjual gurunya sendiri hanya demi 30 keping perak, itulah akar dari segala kejahatan termasuk dari tindak pidana korupsi yaitu 'cinta akan uang'. Memang tak dapat dipungkiri, semua manusia membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya, namun saat manusia mulai mencintai uang dan tidak pernah puas dengan apa yang didapatnya, disinilah terjadinya distorsi dan penyimpangan iman dan jiwa manusia tersebut, sehingga melakukan korupsi.

Indonesia sangatlah membutuhkan para penegak hukum, yaitu hakim, jaksa, polisi dan pengacara yang priceless, yang saking mahalnya sampai 'tidak dapat dibeli' dengan nominal berapa pun untuk menyelewengkan keilmuan, keimanan dan kebenaran sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Inilah kunci utama dari pemberantasan korupsi, yaitu memberantas korupsi dari diri sendiri.

Merupakan suatu rahasia umum bahwa di kalangan para penegak hukum non-advokat memiliki gaji yang dirasa kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun kurang cukupnya gaji tersebut terkesan tidak menjadi suatu kegelisahan yang berarti, karena terdengar kabar yang kurang enak didengar bahwa selain mendapat gaji, ternyata oknum para penegak hukum juga dapat mempunyai 'penghasilan' lain dengan jalan melakukan korupsi.

Dengan menampuk kekuasaan dalam penegakan hukum, di sinilah letak penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh oknum para penegak hukum itu terjadi. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Lord Acton, yaitu "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." (Kekuasaan cenderung untuk korupsi, kekuasaan mutlak pasti korupsi).

Di sisi yang lain, juga beredar suatu paradigma yang kurang tepat dengan mengukur kesuksesan seorang pengacara (advokat) yang juga merupakan salah satu Penegak Hukum, dengan hanya melihat dari sisi kekayaan atau kemewahan dari seorang pengacara tersebut. Bayangkan saja jika kita menengok ke kampus dan membuat survei, hampir sebagian besar mahasiswa Fakultas Hukum memilih profesi pengacara dengan harapan suatu saat nanti akan menjadi kaya raya.

Di sinilah kesenjangan sosial dan ekonomi terjadi, manakala seorang pengacara yang berdasarkan 'kelasnya' dapat menentukan besaran fee dalam suatu perkara, sedangkan polisi, jaksa dan hakim hanya menerima gaji saja, padahal kekuasaan para penegak hukum non-advokat tersebut untuk menentukan nasib dari klien pengacara tersebut adalah sangat besar.

Untuk itu, di samping perlunya penumbuhan kesadaran pribadi dari para penegak hukum untuk memberantas korupsi (dari) diri mereka sendiri, tentunya Pemerintah harus mengkaji ulang peningkatan kesejahteraan dari para penegak hukum non-advokat ke arah yang lebih baik, manusiawi dan lebih sejahtera, sehingga dapat meminimalisir penyalahgunaan wewenang karena alasan kebutuhan hidup. Tentunya tanpa melupakan pentingnya proses perekrutan para penegak hukum dengan memperhatikan moral maupun kemampuannya.

Nilai-nilai kesederhanaan, hati nurani dan integritas adalah modal utama dari upaya memberantas korupsi dari diri para penegak hukum sendiri, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Nabi Sulaiman, "lebih baik penghasilan sedikit disertai dengan kebenaran daripada penghasilan banyak tanpa keadilan."

Fiat Justitia Ne Pereat Mundus, tegakanlah hukum supaya dunia tidak runtuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar